Spiritualitas Kristiani Untuk Kaum Ibu: Suatu Telaah Tentang Latihan Spiritualitas Kristen sebagai Ibu di tengah Keluarga (1 Timotius 4:7b “Latihlah dirimu beribadah”)




Pendahuluan
Bahan PA kali ini agak sedikit berbeda dengan bahan sebelumnya. Kali ini, kita akan belajar tentang spiritualitas dan agama. Namun, secara spesifik kita mau memahami lebih dalam spiritualitas kristiani bagi kaum ibu di tengah keluarga. Thema ini diangkat sebagai respon terhadap sebuah artikel berjudul Why I’m teaching my kids to be Spiritual not religious. Bahan PA ini mengharapkan kita: pertama, mampu memahami makna spiritualitas di dalam kekritenan; kedua, mampu melihat diskursus terkait spiritualitas dan agama; ketiga, kaum Ibu melatih spiritualitas seperti nasehat Paulus kepada Timotius dalam 1 Timotius 4:7b.

Spiritualitas, Agama, dan Spiritualitas Kristiani
Spiritualitas berasal dari kata spirit, dalam Bahasa Latin spiritus, berarti pernapasan, nafas. Kata ini sepadan dengan kata ruah dalam Bahasa Ibarani, yang berarti roh, nafas dan di dalam Bahasa Yunani pneuma. 

Menurut Kamus Oxford Dictionary, Spiritualitas adalah “quality of being connected with religion or the human spirit.” (Kualitas dari keadaan yang terkeneksi dengan agama atau roh manusia.  Cambridge Dictionary mendefinisikannya, “the quality that involves deep feelings and beliefs of a religious nature, rather than the physical parts of life.” (kualitas yang meliputi perasaan mendalam dan keyakinan terdahap hakikat dari sebuah agama, daripada bagian fisik dari kehidupan).

Religion berasal dari kata religare berarti mengikat. Secara sederhana, religion adalah sesuatu hal yang mengikat terhadap kekuatan ilahi, yang diimplemantasikan di dalam iman atau kepercayaan tertentu. Di dalam Bahasa Indonesia, kita mengunakan kata agama. Agama, secara etimologi berasal dari Bahasa sanksekerta yang terdariri dari a, berarti “tidak” dan gama, berarti “kacau.” Sederhananya agama bertujuan agar kehidupan tidak kacau (chaos). 

Spiritualitas adalah keadaan yang berada di dalam koneksi dengan sang Ilahi melalui Roh. Roh itu bagaikan angin, sebab “angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.” (Bnd. Yoh. 3:8). Berbicara tentang roh di tengah dunia yang super canggih ini membuat Sebagian besar orang menganggapnya omong kosong. Namun, orang yang memiliki spiritualitas memahami bahwa kehadiran sang Ilahi di dalam Roh mendatangkan damai sejahtera. Dia tak terlihat dan tak terselami akal dan pikiran. Namun terasa oleh kita di dalam hati kita masing-masing. 

Spiritualitas Kristiani adalah Spiritualitas yang berpusat pada Kristus. Kristus yang telah menderita, mati, dan bangkit menjadi central iman kekristenan kita. Orang yang memiliki spiritualitas kristiani adalah orang yang meneladani Kristus hidupnya. Hidup yang merasakan cinta kasih dan kehadiran Allah. Pertanyaannya bagaimana kita memperoleh spiritualitas? Dengan melatih diri. Inilah juga yang dinasehatkan oleh Paulus kepada Timoteus. 

Gymnaze berarti melatih. Ini sama halnya dengan Latihan di gymnasium. Latihan yang dimaksud tentu tidak secara fisik melainkan secara spiritual. Kita diminta untuk melatih diri kita dengan kegiatan yang mendatangkan ketekunan di dalam beriman kepada Kristus. Kita sebut saja beribadah, berdoa, membaca Firman Tuhan, meditasi, berpuasa, berdikusi tentang Firman Tuhan, menolong orang kemalangan, donasi, dsb.
Eusebeian berarti kesalehan, ibadah, dan ketuhanan. Ini adalah objek dari yang dilatih tadi. Kita tidak perlu risau menjadi saleh. Kesalehan yang salah adalah Ketika kita menyombongkannya di hadapan orang lain. 

Kenapa Paulus menekankan hal ini kepada Timoteus? Karena jemaat yang dilayani oleh Timoteus berada di tengah-tengah para pengajar sesat yang mengajarkan untuk meninggalkan iman terhadap Kristus.

Kritik terhadap artikel dari Megan Collin 
Pertama, dia membedakan yang berujung pada pemisahan antara agama dan spiritualitas. Collin mengatakan bahwa agama adalah sekumpulan dari kepercayaan yang ditransmisikan melalui seremoni, communitas, dan kebudayaan. Tambahnya, spirtualitas adalah di dalam kita dan keyakinan terhadap sesuatu yang melampaui diri. Lanjutnya, spiritualitas adalah kapasitas bagi manusia untuk meluhat lebih dalam hakikat dari hidup, mengetahui bahwa kita dicintai, digenggam, dibimbingm dan tidak pernah sendiri dan mengetahi bahwa semuanya ini dibagikan di antara kita. Pemahaman yang sempit terhadap ritual, seremoni, komunitas, dan kebudayaan menyebabkan Collin mengabaikan pentingnya peran dari religiusitas (keagamaan). Sederhananya, Collin seakan menganggam bahwa agama tidak berguna, baik di dalam menumbuhkembangkan spiritualitas kita.

Saya teringat dengan sebuah buku yang berjudul Spiritual Atheism, yang menekankan tentang spiritualitas para atheis. Dari sini, kitab isa lihat bahwa atheis saja bisa memiliki spiritualitas. Dengan kata lain, tanpa agama dan bahkan tanpa Tuhan kitab isa memiliki spiritualitas. Kritikan yang pertama di atas membuat kita bertanya-tanya apakah Collin mendasari pemahamannya untuk mengiyakan atau mengikuti realitas Amerika Serkiat yang sudah lama meninggalkan agama dan bahkan Tuhan? Alasannya adalah jika agama itu tidak lagi dibutuhkan lantas kita cukup dengan menjadi pribadi yang spiritualis tanpa perlu percaya kepada Kristus. 

Saya juga teringat dengan sebuah berita di NYtimes yang memberitakan seorang atheis menjadi kepala Chapel (tempat ibadah) di Harvard. Dia berujar bahwa berbuat baik tidak harus menyakini adanya Tuhan. Tentu pendapatnya itu benar. Tetapi, kebaikan dan kasih dari orang Kristen itu berbeda dengan kebaikan yang lain. Sebab, kebaikan Kristiani itu dilandaskan dari kasih Kristus yang tanpa pamrih dan melakukan kebaikan adalah tugas-tanggungjawab dari orang percaya.

Kedua, Collins berujar, ”As a result, aside from some deeper conversation around the dinner table, our family’s religious routine has been limited to “saying our prayers” at bedtime.” Nampaknya Collin memang mengikuti trend yang matak di Amerika, beragama tanpa makna dan dampak sehingga beragama hanya sebatas budaya. Yesus sendiri berkata,”Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil ke seluruh dunia.” (Mrk. 16:15). Memberitakan injil dengan melakukan perbuatan baik kepada semua orang (Bnd. Gal. 6:10). Kita juga diajarkan untuk menjadi garam dan terang (Bnd. Mat. 5:13-16). Warga HKBP, ingat seruan pendeta sebelum menerima berkat? Ada kata “pergilah”! PErgilah di sini untuk memberitakan berita sukacita kepada sekitar kita. Setelah selesai ibadah secara ritual, kita melanjutkannya dengan melakukannya di dalam hidup kita sehari hari. Untuk itu, kekristenan tidak hanya sebatas ibadah, apalagi hanya doa sebelum tidur.

Ketiga, Collin mengutip research dari the Pew Research Center, yang menyebutkan 27% orang Amerika menyebut mereka spiritualis bukan religious. Semoga kita tidak kaget dengan research ini. Collin di sini seakan hanya mencari pembenaran dari ideanya yang mendegradasi agama bahkan kekristenan itu sendiri.

Di Amerika, sekularisme adalah system yang dianut di mana agama dan kehidupan dunia dipisahkan. Memisahkan antara agama dan kehidupan duniawi di dalam perihal administrasi and oraganisasi tentu tepat. Namun jika harus memisahkan hidup kita Ketika beribdah dan hidup kita Ketika kita bergaul, bekerja, dan menjalani hidup, maka membawa kita kepada agama hanya sebagai ritual. Itu kenapa banyak gereja yang sepi tiap kali ibadah. Atau banyak orang yang tak lagi beragama. Salahkah agama? Tentu tidak jika pun agama seringkali dijadikan kambing hitam, itu hanya untuk membenarkan orang yang tak mau beragama. Sebab mereka tak mau memiliki batas alias bebas sebebas bebasnya. Tentu, kritikan terhadap orang yang beraga juga ada, yakni agar beragama dengan berhikmat. Dengan kata lain tidak menjadikan agama kita menjadi batu sandungan bagi orang lain.

Keempat, anak itu bukan untuk dibiarkan tetapi diarahkan. Justru di masa kecillah anak-anak butuh dididik dan diarahkan dnegan dasar iman kristiani agar pertumbuhan spiritualnya baik. Jika sejak kecil saja anak sudah liar, maka jangan kaget anak di masa dewasanya menjadi-jadi. Persoalan iman bukan untuk ajang pilih selera, tetapi perihal hidup yang berelasih dengan cinta kasih Allah di dalam Kristus Yesus. Saya teringat dengan nasehat ayah saya, pohon Ketika masih kecilnya bisa di luruskan; jika seudah besar pohon yang bengkok akan patah jika dipaksa untuk lurus. Demikian juga anak-anak kita. Jadi jangan biarkan mereka memilih jalannya di masa kecil agar jangan tersesat di tengah dunia yang peuh dengan kemerlapan ini.

Ibu dan Peran Central di dalam Pertumbuhan Spiritulitas Keluarga
Sebagai keturnan Indonesia dan Batak, kita mengalami yang Namanya peran sentral ibu di dalam mendidik anak-anak. Sebab, Ibu yang memiliki waktu paling banyak untuk berinteraksi dengan anak. Mungkin ini sedikit berbeda dengan konteks kita di Amerika. Namun yang pasti wanita sebagai ibu dan istri memiliki ruang untuk membangun spiritualitas keluarga. Istri menjadi teman Ketika suami mengalami pergumulan. Istri menyokong suami di dalam mendidik anak-anak. Ingatlah bahwa pertumbuhan Spiritualitas membutuhkan usaha dan ketekunan.

Kesimpulan
Spiritualitas kristiani berpusat kepada kasih kristus. Siapapun kita yang percaya kepada Kristus melatih iman kita agar tetap teguh di tengah pencobaan, tantangan, dan ajaran yang menjerumuskan kita. Spirtualitas kristiani mengingatkan kita bahwa hidup kita ini terarah kepada Kristus. Banyak Latihan yang bis akita terapkan untuk menumbuhkan spiritualitas kita dan keluarga, seperti berdoa bersama, berpuasa, meditasi, mengunjungi orang sakit dan kemalangan, donasi, ibadah keluarga, dsb. 

Diskusi:

1. Sebutkan kegiatan yang menumbuhkan spirtualitas anak-anak kita?
2. Apakah kita sudah memiliki gambaran terkait dengan anak kita di masa depan? Kenapa?
3. Apa yang hendak saudara ubah dalam mendidik anak? Bagamaina Langkah-langkahnya?


Comments

Popular posts from this blog

Peran Roh Kudus dalam Hidup Orang Percaya (Yohanes 14:15-26)

Mengasihi Musuh (Matius 5:38-48)

Tuhan Adalah Raja (Mazmur 97:1-12)