Menyatakan Cahaya Kemuliaan Tuhan (Keluaran 34:29-35)

Banyak sekali iklan di televisi dan media elektronik yang menampilkan wajah yang bercahaya atau berkilau. Umumnya, iklan ini berkaitan erat dengan produk kecantikan. Siapa yang tidak ingin memiliki wajah yang bercahaya? Apalagi para kaum hawa. Wajah yang bercahaya seringkali dilambangkan sebagai kecantikan. Wajah yang berseri, bercahaya, dan mulus adalah idaman setiap wanita.

Teks Khhotbah bagi kita di minggu ini juga bercerita tentang wajah yang bercahaya. Musa! Ya, Musa! Wajahnya bercahaya setelah berjumpa dengan TUHAN di gunung Sinai (ay. 29). Kenapa wajahnya bercahaya? Juga apa hubungannya tugas panggilan kita sebagai orang percaya dengan wajah yang bercahaya? Bagaimana wajah kita bercahaya yang diajarkan bagi kita? Ini pertanyaan-pertanyaan reflektif yang hendak kita renungkan di dalam khotbah ini.

Sebelumnya, di Pasal 32, Musa sedang berada di gunung Sinai untuk menerima dua loh batu berisi sepuluh hukum (Bnd. Kel. 31:18). Namun, umat Israel yang ditinggalkan Musa untuk misi tersebut justru membuat patung lembu emas dan menyembahnya (Bnd. Kel. 32). TUHAN mengetahui hal tersebut dan mengutus Musa untuk turun. Musa yang melihat secara langsung pun marah dan melemparkan kedua loh batu itu hingga pecah (Kel. 32:19). Lalu, Musa pun naik lagi ke gunung Sinai untuk mengambil kedua loh batu yang baru (Kel. 34:1-3). Menariknya, ada perbedaan dalam dua loh batu tersebut, bukan pada isinya melainkan pada penulisnya. Loh batu 'edisi' yang pertama ditulis langsung oleh TUHAN (Bnd. Kel. 31:18). Namun, loh batu 'edisi' yang kedua ditulis oleh Musa (Bnd. Kel. 34:1). Lalu, loh batu itu dibawa untuk diberitakan kepada umat Israel. Pasca turun dari gunung Sinai inilah wajah Musa bercahaya di hadapan seluruh umat Israel.

Nah, ada tiga poin yang penting untuk kita renungkan bersama: Siapakah Tuhan di dalam teks ini? Apa yang bisa kita ubah di dalam hidupmu ke depan? Apa kabar sukacita dari firman ini bagi kita?

1. Allah kita adalah sumber cahaya terang bagi kita (ay. 29).

Pada Kel. 33:18-23, Musa telah meminta kepada TUHAN agar TUHAN sudi kiranya memperlihatkan kemuliaan-Nya (lih. ay. 18). Namun, TUHAN mengatakan bahwa Musa tidak akan tahan memandang wajah TUHAN tersebut (lih. ay. 20). Di sini kita melihat bagaimana ada paralel antara kemuliaan dan wajah. Wajah dalam ayat ini memperlihatkan kemuliaan TUHAN. Kata Ibrani yang digunakan adalah kavod, berarti kemuliaan. Inilah juga yang terjadi kepada umat Israel. Mereka tidak mampu untuk memandang wajah Musa yang bercahaya setelah berjumpa TUHAN. Cahaya kemuliaan TUHAN begitu terang yang menyebabkan Musa terimbas cahaya tersebut dan menyebabkan wajahnya bercahaya.

Ada tiga poin penting yang menarik untuk kita simak, yakni cahaya terang, wajah, dan kemuliaan. Pertama, kata Ibrani qaran, berarti menerangi, bercahaya. Cahaya terang! Saya sengaja menggunakan kata terang untuk mempertegas makna cahaya di sini. Cahaya memang pada dasarnya adalah terang. Cahaya tersebut menerangi kegelapan. Cahaya tak berguna di waktu siang hari dan di ruang terbuka. Sebaliknya, cahaya akan memancarkan terangya di kegelapan. Cahaya kemuliaan pada wajah Musa adalah hasil dari pertemuannya dengan TUHAN. TUHAN memancarkan terang cahaya kepada Musa yang Musa sendiri tidak sadari. Hingga pada akhirnya, orang Israel yang melihatnya merasa takut. Ini menyebabkan Musa menyelubungi wajahnya ketika berbicara kepada umat Israel (ay. 33). Menarik Cahaya kemuliaan tersebut menyebabkan mereka takut. Kenapa takut? Minimal ada dua alasan yang bisa kita pahami. Pertama, pasca membuat patung lembu emas, mereka menyadari dosa mereka. Dosa tidak tahan dengan kemuliaan Allah. Inilah yang menyebabkan mereka takut. Kedua, di dalam tradisi Israel kuno, takut akan Tuhan adalah aspek penting di dalam hidup berelasi dengan Tuhan.

Selanjutnya, kata wajah dalam bahasa Ibraninya panim. Menariknya, di dalam tradisi Timur Dekat kuno, wajah tidak hanya menandakan kehadiran seseorang, melainkan juga memperlihatkan expresi dari emosi, perhatian, dan karakter dari orang tersebut. Contohnya, expresi marah, senang, dan sedih dengan mudah kita dapat pahami dari wajah seseorang. Frasa wajah Allah sendiri sering kali digunakan di dalam Alkitab (lih. Kej. 32:20; Maz. 34:16, dll.). Salah satunya yang terkenal adalah formula berkat di Bilangan 6:24-26. Umumnya, frasa wajah Allah merujuk kepada cinta kasih dan perlindungan-Nya.

Lalu ada kata kemuliaan, dalam bahasa ibraninya kavod. Di dalam tradisi Timur Dekat kuno, kemuliaan diasosiasikan dengan kekayaan, kekuatan, dan reputasi. Dengan demikian kemuliaan Allah memperlihatkan kebesaran, otoritas dan kekuasaan-Nya. Jadi, cahaya Kemuliaan Wajah Allah itu memperlihatkan terang dan keagungan TUHAN yang terpisah dari dosa dan kegelapan. Kehadiran Allah itu memberikan dampak signifikan bagi umatnya sebab Allah itu kudus dan tidak tercampur dengan dosa dan kegelapan. Umat Israel yang melakukan dosa juga demikian. Mereka takut kepada cahaya kemuliaan Allah sebab mereka melakukan dosa di hadapan Allah. Sebaliknya cahaya kemuliaan Allah memancarkan terang. Jika Allah kita adalah sumber cahaya terang kita, maka mintalah kehadiran-Nya bagi kita masing-masing agar cahaya kemuliaan itu menerangi kita, hidup kita, dan keluarga kita.

2. Bersinarlah di tengah dunia ini (ay. 30-32)

Memahami Allah adalah sumber cahaya terang tidaklah cukup. Kita dipanggil untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab kita sebagai orang percaya di dalam Kristus, yakni menjadi terang, menjadi cahaya. Ya! Meneruskan cahaya Kristus bagi sekitar kita. Marilah kita mulai dari keluarga kita. Musa juga menjalankan tugasnya dengan memanggil dan berbicara kepada umat Israel (lih. ay. 30-32). Setidaknya ada aspek didakdik atau pengajaran di sini. Musa mengajar dan menegur kesalahan umat Israel. Kita juga dipanggil untuk melakukan hal yang sama, mangajar, mewartakan cinta kasih dan pengampunan Tuhan di dalam Yesus Kristus. Sebagai ayah, mengajar anak-anaknya untuk takut akan Tuhan. Sebagai nenek-kakek (oppung) mengingatkan keturunannya untuk beribadah kepada Tuhan. Sebagai suami, mengasihi istri dan mendapinginya di dalam membangun keluarga yang takut akan Tuhan. Sebagai istri, menghormati dan mendukung suami di dalam mejalani bahtera rumah tangga yang melakukan Firman Tuhan. Sebagai anak, mengingatkan saudara dan menghormati orangtua juga adalah bagian di dalam memberitakan cahaya kemuliaan Tuhan. Bukankah cahaya kemuliaan Tuhan itu melambangkan kehadiran Allah? Ya! Allah yang hadir di dalam Kristus menawarkan damai dan cinta kasih. Itulah tugas panggilan kita lewat memancarkan cahaya kemuliaan Allah.

3. Cahaya Terang Allah bagi seluruh orang (33-34) Terakhir, cahaya kemuliaan Allah itu adalah bagi semua orang. Inilah kabar sukacita bagi kita. Cahaya kemuliaan kita yang dari pada Allah telah dinyatakan di dalam Kristus Yesus. Dia yang telah hadir di tengah dunia ini adalah bagi seluruh dunia. Nah, mari kita menyatakan cahaya kemuliaan Allah kepada semua orang. Kita adalah penyambung terang kemuliaan Allah di mana pun kita berada. Baik di dalam keadaan suka maupun duka. Mari jangan padamkan cahaya yang Kristus sudah berikan kepadamu. Terangi sekitarmu! Terangi rumahmu! Terangi gerejamu! Terangi tempat kerjamu! Terangi dengan cinta kasih Allah di dalam Yesus Kristus Tuhan kita! Terangi dengan pengampunan. Terangi dengan memberikan pertolongan dan dukungan. Terangi dengan mendoakan. Terang hanya akan berguna di tengah kegelapan. Demikian juga kita! Kita tidak akan bermakna hanya untuk diri kita sendiri melainkan kepada mereka yang membutuhkan kita. Terang itu memperlihatkan sesuatu yang tadinya tak tampak menjadi tampak. Terang itu adalah menjadi contoh dan teladan. Kita hanya akan menjadi contoh dan teladan jika kita berbeda dan terpisah dari dosa dan kegelapan. Dengan itu, maka tampaklah cahaya kemuliaan Allah pada diri kita masing-masing.

Tuhanlah yang memampukan kita melakukan firman-Nya. Tuhan memberkati!

TS

Comments

Popular posts from this blog

Peran Roh Kudus dalam Hidup Orang Percaya (Yohanes 14:15-26)

Mengasihi Musuh (Matius 5:38-48)

Tuhan Adalah Raja (Mazmur 97:1-12)