Membangun Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership) di dalam diri PP GKPI
Akhir-akhir ini masalah
kepemimpinan begitu banyak dibicarakan. Apalagi sejak terpilihnya gubernur
Jakarta yang baru, ditambah lagi pemimpin Amerika yang terpilih. Ternyata pokok
pembicaraan tentang pemimpin bagitu menarik, sebab katika kita berbicara
tentang pemimpin yang ideal banyak pemikiran yang muncul, sekalipun terkadang
di dalam praktiknya berbeda dengan idealisme tersebut. Tulisan ini muncul untuk
memberikan setidaknya tanggapan pemuda tentang apa itu kepemimpinan. Hal ini
dimulai dari diskusi ringan dengan seorang Ketua Majelis, pendeta, dan pemudi
GKPI. Hal tersebut membuat “tangan saya gatal” untuk menuliskan tulisan ini.
Johnson dan Johnson dalam buku
mereka Joining Together menjelaskan bahwa
pemimpin adalah seseorang yang mempengaruhi orang lain untuk melakukan
pekerjaannya lebih efektif (Johnson dan Johnson 2009, 175). Johnson bersaudara
juga menekankan hubungan antara pemimpin dan anggota yang dipimpin saling
ketergantungan. Bolman dan Deal mengatakan bahwa giving gift from the hearts that breath the spirit into the peoples
mind. Pemimpin mendorong anggota untuk mampu melaksanakan pekerjaannya. Pemimpin
memberikan semangat dan sesuatu yang menarik kepada anggotanya. Semua orang
bisa menjadi pemimpin karena kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat di dalam
diri manusia (Darmaputra 2005, 24). Karakter manusia yang ingin memimpin memang
sudah melekat di dalam diri manusia. Oleh sebab itu, karakter tersebut harus
diarahkan sejak dini agar kepemimpinannya kelak tidak menyalahgunakan pucuk
kepemimpinan tersebut.
Dalam filosofis adat Batak
terdapat istilah sahala, yang sangat
besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup suku batak (Lumbantobing 1992, 21).
Sahala dapat diartikan kewibawaan, kemewahan, kemuliaan dan kekuasaan
(Lumbantobing 1992, 21). Sahala
tersebut didapatkan melalui pengetahuan dan soft
skill tertentu. Selain itu, wibawa juga terdapat di dalam jabatan yang
bergengsi tentunya, apalagi jabatan pemimpin. Seseorang akan memiliki sahala ketika menduduki sebuah jabatan.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah jabatan pemimpin itu menjadi ajang
hanya untuk mencari sahala? Di mana
tanggung jawabnya sebagai pelayan di tengah anggotanya? Dari keterangan di atas
dapat kita simpulkan bahwa seorang pemimpin memiliki wibawa.
Alkitab juga banyak menceritakan
tentang kisah kepemimpinan mulai dari Musa, Yosua dan banyak lainnya. Musa,
yang diutus Allah, menjadi pemimpin yang membawa Israel keluar dari Mesir. Setelah
itu, ada Yosua, yang dipilih menggantikan Musa. Ada juga salomo, seorang
pemimpin Israel termuda di dalam Alkitab. Usia belianya tidak menjadi
penghalang menjadi pemimpin. Namun, mereka semua adalah pilihan Allah, sehingga
bukan karena kepintaran mereka semata. Mereka, umumnya, adalah pemimpin yang
mau dipimpin oleh Allah. Mereka semua disebut pemimpin karena mampu
mempengaruhi bangsa Israel dengan menyampaikan pesan dari Allah, sekalipun
pengaruh tersebut karena Allah. Pengaruh seseorang ternyata menjadikannya
pemimpin. Dalam teori kepemimpinan di atas juga demikian, ketika kita
dipengaruhi orang lain berarti kita sedang dipimpin olehnya. Sayangnya di masa
kini, kebanyakkan pemuda/i cenderung terbuka terhadap pengaruh yang negatif.
Ada satu tokoh yang lagi yang
tidak bisa kita lupakan, yang menjadi awal dari konsep kepemimpinan yang
melayani, yaitu Yesus. Di tengah penantian kita akan peringatan kelahiran-Nya
di dunia ini (masa Advent), kita diajak untuk menghayati karakter kepemimpinannya
yang melayani. Yesus merupakan teladan utama di dalam kepemimpinan yang
melayani, bahkan di tengah-tengah kehidupan orang Kristen. Dalam kaitannya
dengan hal ini, kita juga diingatkan dengan motto GKPI, melayani bukan untuk
dilayani.
Ada contoh lainnya, yaitu gubernur
Jakarta, yang saat ini lagi populernya bagaikan selebriti. Beberapa minggu masa
awal jabatannya, dia sudah memberikan gebrakan baru. Karakter kepemimpinannya
yang terkenal merakyat dan sederhana menjadi nilai plus jika dibandingkan
dengan gubernur sebelumnya. Saya merasa senang melihat contoh real dari
kepemimpinan yang melayani di kota Jakarta ini. Sekalipun, saya hanya menumpang
untuk studi di Jakarta ini. Satu kalimat yang begitu melekat di kepala saya
setelah membaca buku Jokowi Spirit
Bantaran Kali Anyar. Dia mengatakan bahwa tujuannya adalah ingin
memanusiakan manusia. Hati saya tersentak ketika mendengar kalimat ini.
Ternyata hati nurani Jokowi menjerit ketika melihat warga miskin dan kesusahan
di Ibu kota Jakarta. Memanusiakan manusia, sungguh mulia visi yang coba
dituangkan oleh Jokowi lewat kinerja yang baru dimulai. Namun, jika saya
menambahkan bahwa sudah sepantasnya kita memanusiakan manusia. Ketika kita
memanusiakan manusia, maka kasih yang menjadi ajaran yang utama di dalam
Kekristenan itu terwujud. Tema Natal PGI dan KWI 2012, yang diambil dari 1 Yoh.
1:19, adalah “Allah telah mengasihi kita”. Kenapa kita tidak bisa mengasihi
sesama kita, sedangkan kita telah dikasihi Allah. Begitu mahalnyakah kasih itu
di zaman pascamodern ini, sehingga orang sulit untuk menaburkan benih kasih
kepada sesama? Kasih merupakan unsur penting di dalam praktik kepemimpinan yang
melayani. Dengan demikian, pemimpin bukan untuk berkuasa, melainkan untuk
melayani, menebarkan kasih kepada orang yang tertindas.
Pemimpin bukan yang utama,
tetapi yang pertama (promus inter pares).
Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin sebenarnya memiliki nilai yang sama dengan
anggota lainnya. Namun demikian, dia dituntut untuk menjadi yang pertama karena
pengaruhnya yang penting untuk membawa kemajuan. Pemimpin menjadi role-model di depan, menjadi pemrakarsa
di tengah, menjadi pendukung dari belakang. Khotbah minggu ke-3 bulan Oktober,
yang disampaikan oleh senior saya, Pdt. Dirgos begitu menggugah hati dan mengingatkan
saya dan bahkan setiap umat untuk menjadi pemimpin yang melayani. Dia
menegaskan bahwa seorang pemimpin itu dituntut untuk dapat mendamaikan konflik,
seperti konflik yang terjadi di antara para murid, yang begitu ambisiusnya
untuk menjadi pemimpin. Selain itu, dia juga menuturkan bagaimana ambisi yang membuat
kita menganggap orang lain adalah saingan, bukan lagi kolega. Jemaat juga
diingatkan bahwa pemimpin itu melihat bahwa di atasnya ada yang lebih dari dia,
yaitu Allah. Jika kita ingin menjadi pemimpin yang hebat, maka kita dituntut
berjalan di bawah dan bersama dengan Allah.
Bagaimana dengan pemuda/i GKPI?
Bagaimana peran GKPI dalam mendidik pemuda/i menjadi kader pemimpin di mana pun
dia kelak berada. Menumbuhkembangkan karaktek pemimpin yang melayani begitu
penting di masa kini. Apalagi melihat
banyaknya pemimpin di negara ini yang hanya menggunakan kekuasaannya untuk
meraup keuntungan pribadi. Pemimpin yang menggunakan otoritasnya untuk berkuasa
dan menjatuhkan orang lain. Dengan menumbuhkembangkan karakter kepemimpinan
yang melayani, GKPI ikut berperan dalam membangun generasi bangsa yang melayani
di negeri ini, bukan menjadi generasi yang sarat dengan korupsi, kolusi dan
penyimpangan kekuasaan. Banyak pemimpin yang duduk di jabatannya dan lupa akan
janji-janjinya. Tidak hanya itu, bahkan seseorang sudah seperti tidak menginjak
bumi lagi. Dia merasa paling hebat, sehingga menganggap lemah dan rendah orang
lain. Itulah kepemimpinan Machiavellian,
yang melakukan segala cara untuk menjauhkan orang lain, termasuk manipulasi
(Johnson dan Johnson 2009, 188).
Menanamkan karakter
kepemimpinan yang melayani di masa muda, berarti ibarat menanam bibit untuk
memperbaharui bangsa yang semeraut ini. Kita berharap warga GKPI yang menjabat atau
berada di instansi tertentu tidak ikut di dalam kesemerautan yang terjadi. Jika
kita simak dengan seksama kasus-kasus korupsi, sumbangsi orang Kristen semakin
bertambah dalam mengisi sel di KPK. Apa yang terjadi? Ini mengindikasikan peran
kita sebagai gereja membutuhkan usaha yang lebih lagi untuk menyuarakan stop
korupsi. Selain itu, kita juga menanamkan generasi penerus GKPI yang mottonya
betul-betul tercermin di dalam kehidupan, sehingga tidak sekadar motto. Dengan
adanya karakter melayani, maka perebutan dan sikut-sikutan bisa berkurang,
melainkan sikap lapang dada mempersilahkan orang lain untuk memimpin dan ikut
berpartisipasi untuk membawa perubahan sebagai kolega, bukan competitor.
Aspek mendengar penting untuk
dimiliki oleh seorang pemimpin. Membiasakan diri untuk mendengar ternyata ada
gunanya. Dengan mendengarkan orang lain kita tahu apa yang dia perlukan dan
kita pun semakin dekat dengan dia. Banyak orang yang ingin didengarkan tetapi
tidak mau mendengar orang lain. Dengan mendengar, maka kita juga paham apa yang
hendak kita ubah. Seorang pemimpin menyuarakan perubahan (make things happen) bukan status
quo. Pemuda/i sangat sarat dengan pembawa perubahan. Pemuda/i jugalah masa
depan GKPI dan bangsa ini. Oleh sebab itu, mengembangkan kepemimpinan yang
melayani di dalam pemuda/i GKPI setidaknya memberikan kontribusi penting dalam
aspek apapun untuk mewujudkan motto GKPI melayani bukan untuk dilayani. Untuk
menutup tulisan ini, saya teringat dengan pesan ayah saya, yang mengatakan
bahwa jika seseorang ingin menjadi pemimpin, maka dia harus terlebih dahulu
dipimpin. Oleh sebab itu, mari kita meminta petunjuk Tuhan untuk memimpin kita
menjadi pemimpin yang melayani. Siapkah kita menjadi pemimpin yang melayani?
Daftar
Pustaka:
Ambarita, Domu
D., dkk. 2012. Jokowi Spirit Bantara Kali Anyar. Jakarta: Elex
MediaKomputindo.
Johnson, David W. Dan Frank P. Johnson. 2009. Joining Together: group theory and group skills. 10th edition.
Boston: Pearson.
Lumbantobing, Andar. 1992. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak.
Jakarta: GPK Gunung Mulia.
Darmaputera,
Eka. 2005. Kepemimpinan dalam Perspektif
Alkitab. Yogyakarta: Kairos.
Comments
Post a Comment